Jumlah Pengunjung

Rabu, 28 Desember 2016

Naskah drama RACUN TEMBAKAU



RACUN TEMBAKAU
DISADUR DARI ON THE HARMFUL EFFECTS OF TOBACCO KARYA ANTON CHEKOV ATAS TERJEMAH JIM ADHI LIMAS
 *****************************************************************************
 Sinopsis
HARMAN seorang suami berumur, bercambang panjang tapi dipingit. Dia perokok berat dan selalu merasa tertekan oleh istrinya—seorang pekerja atas nama sosial dan amal yang punya sekolah musik partikelir dan indekos buat anak perempuan.
Saat ini Harman diminta istrinya untuk ceramah ”Bahaya Racun Tembakau” di sidang komunitas ilmiah. Tugas ini bukan soal buat Harman, apalagi ia telanjur tahu bahaya asap rokok. Namun masalah justru ada pada Harman, ketika ternyata ia selalu gagal berceramah. Ada kekuatan diluar kendalinya yang mendesak bawah sadar Harman untuk membocorkan kebenciannya pada istrinya. Karena hanya dengan itu ia menemukan jalan pembebasan dari segenap gurita hidup yang membelit kesehariannya. Sekaligus mengurai pengakuannya bahwa istrinya telah meracuni jiwanya, seperti halnya rokok meracuni hidupnya. Rokok itu seperti istri, atau istri itu seperti rokok. Entahlah mana yang benar?
Harman jelas mendamba kebebasan dan hidup yang bersih seperti kertas putih.
Barangkali dia sekadar tokoh penganjur yang jujur, tapi tidak pada dirinya sendiri. Demikianlah, tampaknya menjadi penganjur adalah kepribadian paling mutakhir manusia masa kini untuk selamat meski hal itu bukanlah hidup yang sebenar-benarnya bagi dia. Hidup yang serba palsu. Lalu kalau semuanya palsu, untuk apa tetap berlalu?(*)


NASKAH DRAMA
PAK HARMAN, SEORANG KAKEK TUA YANG MASIH BERSEMANGAT HIDUP. MESKI PULUHAN TAHUN DALAM CENGKERAMAN KUASA SANG ISTRI. ISTRINYA, MEMIMPIN SEBUAH LEMBAGA PARTIKELIR YANG BERGERAK DI BIDANGNYA ATAS NAMA AMAL DAN SOSIAL. SELAIN PUNYA RUMAH INDEKOS BAGI ANAK-ANAK PEREMPUAN.
SEBUAH PANGGUNG KECIL DI RUANG RAPAT MASYARAKAT INTELEKTUAL.

BABAK SATU
PAK HARMAN : (CAMBANGNYA PANJANG, KUMIS DICUKUR KLIMIS, JAS RESMI YANG SUDAH TUA DAN TERLALU SERING DIPAKAI. IA MUNCUL DENGAN SIKAP AGUNG, MANGGUT, DAN MEMPERBAIKI DASINYA) PAGI (ATAU MALAM) HARI. MUSIK MARS MASIH MELATARI SEBAGAI BUKTI PENGHORMATAN PADA DUNIA ILMU PENGETAHUAN. SEBUAH BENDA LAPTOP—KOPOR DI LETAKKAN DI MEJA. PAK HARMAN MENUJU PODIUM.
Sayalah yang tidak punya nyali, tua dan bodoh. Hidup saya di tengah keluarga telah melampaui melodrama dan tragic comedy. Satu-satunya yang membangkitkan spirit hidup saya adalah mempersulit diri setiap jengkal perjalanan hidup dengan membuat cerita-cerita seperti ini, ceramah-ceramah ilmiah kayak begini.
(MEMPERKENALKAN DIRI DENGAN SIKAP AGUNG, MENGUSAP CAMBANGNYA). Selamat malam Saudara-Saudara Sekalian, Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, serta adik-adik para pengabdi dan pecinta ilmu pengetahuan. Sesuatu menyebabkan saya harus berdiri dan ceramah di sini. Saya mulai dengan semacam sekapur sirih tentang kejantanan. Saya seorang pria yang harus bangga dengan kejantanan saya karena saya telanjur tahu dimana letak kejantanan saya. Saya yakin tidak semua diantara hadirin sekalian ini tahu persis dimana letak kejantanan anda. Dan di usia senja saya, kebanggaan saya yang tak terkikis habis adalah sepasang cambang panjang dan kumis tipis yang senantiasa tersisir rapi. Lalu, istri saya itu adalah kehormatan saya yang lain. Kami punya tujuh anak perempuan yang dihidupi dari memerah rumah indekos yang oleh istri saya dikhususkan untuk biaya hidup anak-anak kami. Sementara soal hidup saya, ini yang hendak saya tutur kisahkan—selain masalah istri, kumis, berita, cerita, derita, dan sebungkus rokok yang senantiasa menemani saya tiap hari. Inilah sesuatu hal penting bagi hidup saya dan perlu anda dengarkan di sidang masyarakat ilmiah ini. Istri saya mengerti saya seorang penceramah yang jujur. Karena itu harus jujur pula saya akui, saya berbicara di sini di depan hadirin sekalian, sebetulnya bukanlah atas kehendak saya sendiri. Lebih tepatnya kehendak istri saya—si kutu loncat yang cerdik, pintar, keras kepala dan sudah barang tentu berbakat dan berkat itu semua ia bisa mengumpulkan banyak duit untuk memenuhi kebutuhan hidup saya, menghidupi saya. Lain hal bila seringkali ia mengaku tetap miskin, dan tak punya duit meski sebagaimana saya tahu jumlah nomor rekeningnya banyak. Semuanya berisi uang atas namanya. Jadi saya makan dari jerih payah sendiri, meskipun dari kesempatan yang diberikan istri saya.
Seperti kali ini, saya diminta ceramah untuk tujuan kegiatan sosial. Begitulah, pintarnya istri saya bergerak membaca peluang kegiatan amal atau sosial. Apapun kesempatan yang diberikan pada saya, buat saya tidak masalah. Justru saya dengan senang hati bersedia membagi cerita apa saja pada hadirin sekalian dalam kesempatan ini. Apalagi saya seorang penulis cerita yang sudah lebih tigapuluh tahun lamanya. Boleh dibilang saya hidup dari dan untuk cerita itu sendiri atau sayalah mungkin cerita itu. Hidup saya telah benar-benar saya abdikan untuk seluruh cerita-cerita yang saya tulis, dan cerita-cerita yang saya tulis telah demikian menjadi milik saya, jadi bagian hidup saya. Saya sudah terbiasa dan karena itu saya tak peduli sekalipun ceramah ini sebenarnya atas kemauan istri saya. Selama ini, anak-anak senang, istri saya girang, tanpa harus repot dengan posisi saya apakah sebetulnya saya sedang bekerja pada istri, atau tengah dipekerjakan oleh majikan saya dalam hal cerita-cerita saya dan ceramah-ceramah saya. Bagi saya cukup penting manakala saya punya perasaan, perasaan bahwa saya setidaknya telah menjadi majikan atas ceramah saya ini. Sebagaimana saya menjadi majikan bagi rokok saya pada waktu membuat cerita-cerita saya. Sesekali memang pernah muncul di otak saya, pertanyaan, siapa sebenarnya majikan saya dalam hal ini, istri ataukah cerita-cerita saya. Istri saya atau ceramah-ceramah saya. Rokok yang saya hisap atau saya yang dihisap olehnya. Tapi pertanyaan itu kerdil dengan sendirinya setelah tigapuluh tahun lamanya. Sampai kini saya tetap menulis cerita-cerita. Sampai kini saya tetap memberikan ceramah di mimbar-mimbar seperti ini. Sampai tak terhitung berapa bungkus rokok yang saya hisap dan saya dihisap olehnya.
(MEMPERBAIKI DASINYA) Sepanjang waktu saya menghisap istri saya dan saya dihisap olehnya melalui ceramah-ceramah saya. Ceramah saya kali ini saya diminta bercerita tentang bahaya yang mengancam manusia karena menghisap asap rokok. Saya sendiri merokok, tapi kalau istri saya yang menyuruh berdiri di mimbar ini, seperti yang lalu-lalu, saya tak berkutik. Tidak ada jalan lain, karena itu beginilah jadinya cerita itu. Tidak ada yang boleh protes! Bagi saya tidak soal. Bila mungkin bagi hadirin sekalian atau bagi ceramah ini sendiri bermasalah, terkesan cerita dipaksakan, hal itu bukanlah soal bagi saya. Jujur saja, saya tak berniat memaksakan. Tepatnya menganjurkan kepada hadirin sidang keilmuan yang terhormat, untuk menangkap kesungguhan ceramah saya, meskipun ini cuma sepenggal cerita. Karena itu bagi yang tidak siap sungguh mendengarkan, mencermati dan menikmati, sebaiknya ceramah saya tak perlu dilanjutkan dan dicukupkan sampai di sini saja. Sama sekali bagi saya bukan suatu soal, apakah ceramah saya didengar oleh orang yang terpaksa hadir dan memperhatikan atau tidak.
 (KEPADA PENONTON) Bagaimana? Terus atau diakhiri sampai di sini? Lanjutkan? Alhamdulillahirobbilalamin… Bonus saya sehabis drama ini tampaknya bakal mulus… Kalau pejabat birokrat jawabannya: lanjutkan..lanjutkan.
Tapi bila ibu-ibu katanya: terus..terus…(SAMBIL MENGEKSPRESIKAN GAIRAH BERCINTA SEBELUM AKHIRNYA KEMBALI MENJAGA POSISI AGUNG DENGAN MEMPERBAIKI DASINYA. MELIHAT LAJU ARLOJI TANGANNYA) Rusak..rusak..Asu turu ditabrak becak! Serius..serius. Kembali ke monolog! Saya serius berharap mendapat perhatian dari saudara-saudara, bapak-bapak, ibu-ibu dan para intelektual budiman yang respek dengan masalah bahaya racun tembakau dan akibat-akibat buruk dari asap rokok. Meskipun, di lingkungan kedokteran tentu saja racun-racun yang saya maksudkan terkandung pada rokok itu bisa dimanfaatkan untuk keperluan-keperluan medis. Rokok dikenal berbahaya tidak saja bagi tuannya, tetapi juga… (BERHENTI SEBELUM KEMBALI KE MASALAH PRIBADI).
Biasanya saya menulis cerita-cerita saya, juga menyampaikan ceramah-ceramah saya itu sambil merokok. Terutama bila menulis cerita saya perlu melepas baju agar perasaan dan tubuh saya terbebas dari beban, sambil sesekali memelintir kumis saya tanpa sadar. Hanya kebiasaan saja. Tapi karena saya diminta ceramah masalah bahaya asap rokok, maka mustahil itu saya sampaikan sambil merokok. Bukti bahwa saya masih punya etika, bukti bahwa saya masih waras. Apa kata dunia bila saya ceramah bahaya asap rokok sambil merokok? Apalagi bila musti dengan bertelanjang dada. Bisa-bisa saya disunat lagi. Maksud saya honor saya disunat lagi. Ah, mungkin saudara-saudara sekalian sudah sunat! (DIULANG) Ah, mungkin saudara-saudara sekalian sudah menduga ini hanyalah upaya saya untuk menghibur diri dari pekerjaan yang dibebankan oleh istri saya, agar saya tak berpikir bahwa sebenarnya pikiran, hati, perasaan, imajinasi, persepsi, interpretasi saya sedang dihisap oleh istri saya sendiri. Tidak salah! Sah-sah saja! Walau sebetulnya, pikiran-hati, perasaan, imajinasi dan tetek mbengek itu semua sudah selama tigapuluh tahun lebih telah dihisap istri saya tidak saja dalam hal cerita. Khususnya, ketika kami saling menghisap di kamar, di tempat tidur atau di lantai sampai kami membuahkan tujuh orang puteri yang cantik-cantik dan tak kalah hebatnya dibanding ibunya itu. (MELIHAT KEMBALI PUTARAN ARLOJI) Jadi sebetulnya dalam hal menghisap ini, bagi saya, istri saya serupa dengan rokok. Pada saat saya sedot, diam-diam melalui mulutnya ia menebar 4000 zat kimia beracun untuk dibenamkan di tubuh saya sampai suatu saat ganti menyedot hidup saya. Biasanya saya ceramah mata kanan saya kekediban, tapi tak perlu hadirin sekalian risaukan karena ini lantaran senewen saja. Saya orang yang sangat gugup, pada umumnya; dan kedipan-kedipan ini sudah mulai sejak kelahiran anak perempuan keempat saya, dan sejak kesibukan sehari-hari saya sebagai intelektual membuat saya seperti ini sekarang. (MASIH MEMANDANGI SISI ARLOJI) Karena sempitnya waktu, sebaiknya ceramah saya jangan melantur ke hal-hal yang tak ada hubungannya dengan rokok.
(TERBURU-BURU) Sebelum saya lupa, sebaiknya saya ceritakan terlebih dulu bahwa istri saya punya jam terbang kegiatan sosial dan amal yang luar biasa. Sering bepergian tidak saja di luar pulau tapi juga ke luar negeri. Amerika. Eropa. Gresik. Lamongan. Ondemohen. Glenmore. Meski jarang bertemu, karena dia telah lama mendelegasikan seluruh urusan keluarga kepada saya, bila bertemu kami banyak bercerita tentang kebobrokan negeri ini. Dia mengomel kesana kemari tentang kesusahan zaman, kemiskinan, korupsi. Padahal, dia sama sekali hidupnya jauh dari kondisi itu semua. Uangnya banyak, makannya kenyang, tidurnya nyenyak, liburannya enak. Sementara suaminya, saya ini, hanya jadi pendengar! Uang saya tak pernah lebih dari cukup. Hanya dari hasil keahlian saya sebagai penulis cerita dan ceramah-ceramah seperti ini. Soal keahlian saya mengurus kamar indekos dan menjaga rumah tangga, juga belanja, mulai dari belanja kebutuhan makanan, keperluan anak-anak, obat flu, supermi, rok mini, sampai tusuk gigi, pembalut dan lain-lain yang tak saya tahu muasal duitnya, saya cuma pegang ballpaint, mencatat di buku laporan keuangan. Terkadang bila saya lupa, malah saya bawa ke kebun karena saya juga merangkap tukang kebun, atau sambil menyiapkan makanan untuk kucing-kucing kesayangan saya.
(MAJU DEPAN PANGGUNG) Nah, saya punya tiga ekor kucing. Di depan istri saya sering saya belai dan anehnya istri saya tidak marah! Ini mungkin bumerang bagi saya memelihara kucing. Suatu malam, saya membuatkan masakan paling enak untuk istri. Makanan kesukaannya itu martabat telor. Maksud saya martabak telor. Berbeda dengan saya, soal makanan, tak satupun makanan yang jadi pantangan saya, tak satupun yang tidak masuk di mulut saya. Semuanya halal masyaallah! Singkatnya, malam itu istri saya tidak berselera dengan masakan martabak buatan saya. Semula ia suruh simpan martabak itu di almari, barangkali lain kali bangkit lagi seleranya dengan masakan buatan saya.
 Tapi kemudian berubah pikiran. ”Lemparkan saja martabak telor itu pada ketiga kucing kesayanganmu!” katanya. Sebetulnya, saya tersinggung. Tersinggung. Mengapa tidak diberikan kepada saya, yang harus jujur saya akui malam itu mengalami lapar luar biasa dan ia tahu tidak ada satupun jenis makanan yang jadi pantangan saya, tak satupun yang tak saya suka. Ah, saya pikir beruntung martabak itu diberikan kepada kucing kesayangan saya. Jadi saya bisa minta cerita pada ketiga kucing itu untuk mengisahkan kelezatannya pada perut dan lidah saya. Pertanyaannya sekarang, mengapa saya jadi sibuk dengan kucing? Ah, tapi ceramah saya sudah ngelantur lagi, sudah menyimpang dari pokoknya. (ARLOJI MAKIN MENAKUTKAN BUATNYA)
Saudara-saudara. Saya mengerti, hadirin sekalian lebih senang menikmati ceramah-ceramah cerita masalah romantis, percintaan remaja, melodrama, tragic comedy dan tentu saja seks. Nah, untuk satu hal yang belakang ini, izinkan saya menyanyikan barang sepotong lagu untuk anda. Boleh? Tarik! (NYANYI-NYANYI LAGU REMAJA BERISI CERITA LUCU SEPUTAR SEKS). Hei..lagu saya bukan yang itu! Ini: Aku suka susunya, hingga tetes terakhir. Satu lagi boleh pakai musik! Balonku ada lima, rupa-rupa namanya. Hijau, kuning kelabu, tidur dengan balonku. Meletus balon hijau, Dor! Sudah. Sudah meletus. Rusak..rusak.. ayu..ayu.. digasak luak!
Lupa..lupa..lupa..lupa..lupa dialognya! Alangkah baiknya sebelum lupa, saya katakan bahwa selain menjaga urusan rumah tangga, menulis cerita, ceramah, saya juga diserahi tugas membuat kliping koran tentang masalah keagamaan dan masyarakat, sesekali melatih kegiatan teater terutama bila untuk kegiatan amal, mengikuti rapat-rapat di lembaga dewan rakyat atau menghadiri undangan komunitas ilmiah dan lembaga swadaya masyarakat. Kadang-kadang saya diminta membuat proposal atau term of refference. Semua itu atas permintaan istri saya, dan bukan atas kemauan saya sendiri. Hah! Ada satu hal yang perlu anda camkan! Apakah diantara hadirin sekalian ada yang wartawan? Atau kritikus teater? Terus terang, saya menulis cerita dan berceramah seperti yang saya sampaikan kepada hadirin ini, saya tidak peduli dimuat atau tidak dimuat di media. Karena memang tidak akan pernah saya tunjukkan pada istri saya mengenai isinya.
Saya hanya perlu membacakan judulnya saja: RACUN TEMBAKAU. Sebab itu, kalau nanti dimuat yang penting tulis judulnya saja. Dan foto saya jangan lupa! Musik gak usah dijepret. Soal isinya bisa berita apa saja, pesawat jatuh, flu babi, soal tki, sinetron manohara dan sebagainya. Ngerti ora kowe? Isi ora penting! Ojo sakkepenake dewe.. teroris kui yo aku iki. Dudu kowe.. Itu pun tak membuat saya habis kawatir. (MAKIN RUSUH) Yang saya takutkan berikutnya, bilamana istri saya membaca TV, melihat koran, atau mendengarkan siaran RRI yang memuat berita saya, cerita saya, derita saya, sehingga jadi tahu keseluruhan isi pikiran saya. Meski andaikan tahu, saya masih punya alibi baru karena itu semua atas kemauaannya. Syukurlah, setidaknya hingga kini masih selamat, jalan cerita halus mulus. Ceramah saya di tempat ini pun masih aman-aman saja. Berikutnya, tentu yang perlu saya wanti-wanti adalah anda-anda sekalitan yang mendengar ceramah ilmiah saya ini, saya peringatkan jangan menceritakan isinya kepada istri saya. Apalagi menguraikan di depannya. Jangankan satu alenia, satu kalimat pun, bahkan satu kata pun jangan sampai ia dengar dari orang lain. Karena bukan mustahil bila orang lain yang berpesan, ia tak segan menyampaikan kalimat: ”Istri saya adalah racun bagi diri saya.” Mungkin, andaikan itu pun terjadi, saya masih menangkis dengan kata lain yang tak kurang mengerikan, maksudnya kata itu adalah: ”Istri saya itu seperti rokok.” Saya memang tak punya nyali untuk mengutarakan maksud sebenarnya, yaitu: NIKMAT DIHISAP DAN KUAT MENGHISAP. Ah, jangan, jangan sampai itu terjadi. Mengerikan. Mengerikan. Perempuan bila memuntahkan amarah itu sungguh di luar batas kemanusiaan. Jangan sampai terjadi. Karena sebetulnya saya sedang berbicara tentang diri saya sendiri, bukan tentang istri saya, bukan tentang pengakuan pembaca setelah membaca cerita-cerita saya, bukan pula tentang pernyataan hadirin sekalian setelah mengikuti ceramah saya. Sayalah yang tidak punya nyali, tua dan bodoh.
(MELIHAT SEKELILING UNTUK BEREMPATI DIRI) Harus jujur saya akui, kini melalui kesempatan seperti ini, juga dalan cerita-cerita saya meski kelihatan enjoy, sesungguhnya saya ingin berteriak berontak setinggi langit atau lari ke ujung dunia—sesuatu hal yang jelas amat sulit saya lakukan. Kepada siapa saya bisa mengadu? Aha! obat mujarab yang bisa saya lakukan hanyalah: Saya ingin menangis. (MENANGIS) Saya harus menangis. Saya harus menangis lebih keras! Saya menangis bukan minta dikasihani. Tapi saya menangis karena ceramah saya pada kesempatan bermain drama ini menghendaki saya menempuh jalan pembebasan dengan cara ini. Terserah, apa kata saudara-saudara sekalian, karena ini kenyataan paling pahit bagi saya waktu merasa sendiri, sepi, dan sunyi di tengah keluarga saya yang seperti ini. Bermain drama ceramah ilmiah itu susah. Tobat..tobat..soto babat campur kawat… Penontone akeh, gajiku gak mundhak-mundhak! Saudara-saudara sekalian boleh menyalahkan saya, dan memang sedikit banyak saya merasa bersalah. (TABLO—MENGATUR DUDUK) Tapi kalau hadirin sekalian berkata, anak-anak perempuan sayalah seharusnya yang bisa mengusir kesunyian ini, itu sama sekali tidak benar.
(MEMPERTONTONKAN SISA BANGGA) Anak-anak saya seperti anak-anak zaman sekarang tidak mau tahu dan tidak banyak tahu. Mereka cuma maunya beres, cekikikan di sana-sini, hidup bergaya pakai barang buatan Eropa-Amerika. Chating, SMS, Facebook! Oya, istri saya punya 7 anak perempuan. Yang sulung bernama Ana, umurnya 27 tahun, yang bungsu bernama Ani sudah berumur 17 dan yang mulai membesar namanya Anu puanjangnya 19 centitahun. Ha..ha..rusak! rusak! Ayu..ayu.. panganane cecak!
Saudara..saudara, ibu-ibu, bapak..bapak, siapa yang punya anak bilang aku aku yang telah malu..eh! Saudara-saudara sekalian yang budiman, sekali lagi dengan hormat saya minta: Jangan ceritakan apapun mengenai ceramah dan cerita saya ini pada istri saya. Awas!
BABAK DUA
(MUSIK SENANTIASA MEMBUAT PAK HARMAN KEMBALI PERCAYA DIRI, GAGAH DALAM PENDERITAAN).
Saya memang sengsara, menderita, dungu, dan tidak berarti. Tapi, dengan ceramah dan hadir di sini, serta melalui cerita-cerita saya, saya harus tunjukkan sayalah seorang ayah yang paling bahagia. Sudah seharusnya seperti ini dan saya tidak punya nyali menafikkan ini. Tigapuluh tahun lebih bukan waktu yang pendek untuk penderitaan saya ini. Harus saya katakan justru itulah sepanjang waktu paling subur. Dari penderitaan itu, harus anda sekalian ketahui, ceramah dan cerita-cerita saya adalah titik terang kebahagiaan itu. Sekarang. Yang lain prek! Persetan! Inilah tiba saatnya kesempatan bagi saya menyingkap titik terang dalam hidup saya. Sesuka saya.
 (MERATAP DALAM HENING) Saya ini sangat penakut, tapi ternyata anak-anak perempuan saya juga telanjur menjadi korban dari kehendak hidup istri saya. Dari ketujuh anak-anak perempuan saya, satupun belum ada yang kawin. Mungkin karena pemalu. Tapi jangan-jangan memang dilarang kawin oleh ibunya, karena yang dia tahu tentang laki-laki hanyalah saya bapaknya. Tapi satu hal yang pasti, istri saya paling tidak suka bikin pesta, dia tidak pernah undang siapa-siapa untuk hadir dan makan, dia kliwat judes, adatnya jelek, perempuan tukang cekcok, sehingga tidak ada yang mau datang bertamu.
(MELIHAT LAGI SEKELILING) Tolong, saudara-saudara untuk tidak mendengarkan cerita saya pada bagian ini dan maaf kalau saya tidak percaya sepenuhnya pada anda, karena jangan-jangan bakal anda ceritakan pada istri saya. Istri saya itu ibarat tomat, lek bengi tobat awane kumat. Satu hal lagi yang perlu anda sekalian ketahui: saya lebih bebas menghadiri pesta bila tanpa istri dan anak-anak saya. Tentu bisa anda duga apa yang terjadi. Mabuk! Maabukk!!! Sayalah pemabuk dengan minuman apapun yang memabukkan, karena dengan demikian inilah cara kedua saya untuk mampu berasa bahagia sekaligus sedih. Sulit memang mengambarkan kemabukkan seperti ini.
(MENGUMBAR GAIRAH) Namun bermain dramalah gambaran paling mudah untuk menyingkap perasaan seperti itu. Bahagia tapi sedih. Semacam kebahagian tapi palsu. Atau kebahagiaan yang hanya ada dalam cerita. Kebahagiaan yang disusupi sesuatu yang membikin saya ingin lari, ingin segera minggat. Oh, andai saudara-saudara sekalian bisa merasakan bagaimana saya ingin melakukan itu! Lari, meninggalkan semua ini, lari tanpa menengok asalkan bisa minggat dari kehidupan yang hina, kejam, marah ini, yang sudah menjadikan saya tua bangka bobrok, tua bangka edan; minggat dari si pelit goblok, galak, dengki, yang jiwanya sempit serta menjengkelkan itu. Istri saya itu, yang sudah menyiksa saya lebih TIGA PULUH tahun lamanya! Saya ingin minggat dari kemunafikan, dari dapur, dari urusan duit istri saya, dari segala persoalan tetek mbengek. Tetek-nya jangan! Minggat dari segala persoalan mbengeekkk!!! Lari..lari..lari…untuk berhenti di suatu tempat yang jauh, jauh sekali di suatu padang, untuk berdiri sendiri menjulang seperti pohon rindang, seperti tiang, seperti memedian pengusir burung di tengah sawah, di bawah langit yang lebar, dan semalaman terus memandang bulan terang yang sunyi di atas kepala, lalu melupakan, melupakan!
 (NYARIS MENGIGAU) Oh, saya merindukan kemampuan tidak mengingat saya. Tapi betapa ingatan saya tak sabaran. Saya malah ingat bagaimana 33 tahun lalu menjambret jas tua jelek ini, yang kemudian saya pakai untuk pernikahan kami. Ingatan saya memang tak sabaran, saya ingat lagi tas sialan ini yang telah tigapuluh tahun lebih menyimpan rahasia saya, amplop-amplop honor saya, menyimpan dosa dan kejahatan saya. Oh..saya betul-betul merindukan kemampuan tidak mengingat. Saya merindukan kepala saya, pikiran saya, perasaan saya, emosi saya bersih dari segala noda bernama ingatan. Bersih seperti kertas putih yang dihapus dari catatan harian, angka-angka dan daftar utang piutang. Ingatanlah yang telah membawa saya melompat-lompat, menyeret-nyeret pada jurang masa lalu, masa kini dan masa depan. Ingatanlah yang menyebabkan saya muter-muter ke sana kemari. Ya, saya sich sudah muter balik kemari ke sana, tapi ujung-ujungnya tetap karena saya punya ingatan. Ini yang menyiksa saya. Ini yang menyulitkan saya. Saya merindukan saat saya tak perlu sibuk tahu berapa umur saya, siapa istri saya, berapa jumlahnya dan mau apa besok sesudah pentas drama ini usai. Bayangkan bila saya tak punya ingatan, betapa jernih hidup sehari-hari saya. Tak perlu saya mengisahkan bagaimana si kutu loncat istri saya itu menghisap saya hingga tigapuluh tahun lebih ini. Saya bayangkan bila saya tanpa ingatan, maka saya hanya perlu bermain sesuka saya, bermain drama sekehendak hati saya, karena bagi saya setiap waktu adalah masa kini. Masa kini, masa kini thok!. Yang lain prekethek! Drama ini tak bakal serumit dan sesulit pertunjukan malam ini. Atase drama wae, kok! Tapi kenyataannya malam ini tidak sebegitu enteng. Kenyataannya, saya perlu mempersulit diri dalam bermain drama biar katanya lebih berbobot. Padahal itu jelas-jelas menyiksa saya, menganiaya saya. Soro..soro.. tibake sampean seneng lek awake dhewe soro! Tobil..tobil..soto babi campur krikil..!!Sampean-sampean ternyata senang kan bila saya tersiksa? Kebangeten! Saya juga jadi nggak tahu kenapa, saya juga senang menyiksa diri. Heran saya! Padahal saya tahu ini penyakit mashokis, senang menyiksa diri. Syukurlah, cintalah yang membuat saya betah dan terhibur di tempat ini, di dunia ini, di pertunjukan ini: Istri (kedua) dan drama. Cinta pula yang menyebabkan saya perlu sedikit kompromi dengan ingatan, penderitaan, kekonyolan. Saya perlu mengajak bercanda masa lalu, masa kini dan masa depan dengan cara seperti ini: Berputar-putar saja tanpa harus memikirkannya. Saya perlu bercengkerama dengan nama-nama baru yang telah hidup di pikiran, hati, perasaan dan emosi saya, sebagaimana halnya saya memanggil KUTU LONCAT pada istri. Jujur saja saya tak perlu memikirkan itu semua bila saya tak ingin lebih tersiksa lagi dengan ingatan seperti ini. Susah. Sungguh Susah. Susah Sungguh menjadi orang cerdas seperti saya. Mungkin sudah menjadi ciri khas bahwa mutlak bagi orang CERDAS untuk SUSAH SUNGGUH! Atau salah satu syarat menjadi CERDAS adalah SUSAH SUNGGUH. Atau bila ingin menjadi CERDAS harus belajar SUNGGUH SUSAH. (MEMPROTES KE ATAS) Ah! Mana yang benar, BOS? Hei! Kok SUSAH SUNGGUH jadi orang BENAR! ….. Kamu sudah mengirim Surat Sapi Betina dan tidak melarang umatmu mengumpat ke angkasa, tapi itu semua tidak membuat saya menjadi lebih baik! Kamu malah mengirimkan pesawat-pesawat tempur tentara negara saya berjatuhan dari angkasa. Yang benar saja!
 (MENGAMUK. MEMBUANG HURUF-HURUF PADA LAPTOP—KOPOR )
Sialan! Sialannn!!!!
 (HENING. PAK HARMAN MEMUNGUTI LAGI ISI LAPTOP—KOPORNYA. SAMBIL MELANJUTKAN CERAMAH)
(IA MENGAMBIL ”SEBATANG TUBUH SEORANG PEREMPUAN.” LALU DIBAWA KE RUANG DALAM.
Rasakan! Kuinjak-injak kau! Rasain! (SUARA MENGINJAK-INJAK ATAU MEMPERKOSA TUBUH PEREMPUAN ITU) Saya sudah tua, melarat, sengsara, menderita. Saya sudah nyaris habis menghisap kamu tapi kamu tak habis-habisnya menghisap saya! Keinginan saya tidak muluk-muluk.
(SEMENTARA DARI BELAKANG PANGGUNG PAK HARMAN TETAP BERCELOTEH, PERLAHAN-LAHAN SEPASANG KAKI SEKSI PEREMPUAN ITU MENYEMBUL DARI BALIK TIRAI. KEDENGARANNYA AMARAH PAK HARMAN PUN MEMUNCAK. LALU DISUSUL GERAKAN DAN SUARA-SUARA HISTERIS YANG MENGGODA. SAMPAI PADA ORGASME TUBUH DAN JIWANYA) Saya sebagai lelaki hanya ingin mendapat hidup yang bersih, tidak dihisap. Kalaupun saya menghisap kamu itu karena saya membutuhkan kenikmatan kamu. Saya pernah muda, saya pernah belajar di universitas, saya pernah punya cita-cita, saya pernah menganggap diri saya seorang lelaki. Saya cukup punya kehormatan untuk mendapatkan hidup yang bersih, tidak terus-terusan dihisap, dan mengumpulkan penyakit di tubuh saya. Sekarang saya tidak mau apa-apa! Tidak mau apa-apa selain istirahat, hei kamu bini sialan!
 BABAK TIGA
(HENING. DAN PAK HARMAN MUNCUL LAGI DARI BALIK TIRAI DALAM KEADAAN SETENGAH BUGIL. SAMBIL MELANJUTKAN CERAMAH ALA KADARNYA SEBELUM AKHIRNYA IA MERASA ADA ADEGAN YANG PERLU DIULANG)
Saya seorang pria yang harus bangga dengan kejantanan saya, karena saya telanjur tahu dimana letak kejantanan saya.
(MENGAMBIL SEBATANG ROKOK. TAPI CEPAT SADAR. LALU MENCABUT DENGAN KASAR ROKOKNYA YANG TELAH TERJEPIT DI ANTARA DUA BIBIR. MEMBUANG DI LANTAI BAWAH KAKI)
Sampah! Sampah! Rasakan! Puntung buntung! Tak bawa untung! Kuinjak-injak kau! Rasain! (MENGINJAK-INJAK) Saya sudah tua, melarat, sengsara, menderita. Saya sudah nyaris habis menghisap kamu tapi kamu tak habis-habisnya menghisap saya! Keinginan saya tidak muluk-muluk.
(TIBA-TIBA SEBENTUK BENDA YANG LUAR BIASA BERUKURAN BESAR JATUH DARI LANGIT-LANGIT: SEBUAH ROKOK. AMARAH PAK HARMAN PUN MEMUNCAK. LALU DISUSUL TARIAN PENGGODA DENGAN MENGUSUNG BENDA BESAR ITU SETELAH TERLEBIH DULU BERHASIL MEREBUTNYA) Saya sebagai lelaki hanya ingin mendapat hidup yang bersih, tidak dihisap, kalaupun saya menghisap kamu itu karena saya membutuhkan kenikmatan kamu. Saya pernah muda, saya pernah belajar di universitas, saya pernah bercita-cita, saya pernah menganggap diri saya seorang lelaki. Saya cukup punya kehormatan untuk mendapatkan hidup yang bersih, tidak terus-terusan dihisap, dan mengumpulkan penyakit di tubuh saya. Sekarang saya tidak mau apa-apa! Tidak mau apa-apa selain istirahat, hei kamu bini sialan! Toolooong…Saya ingin istirahat…
(TERKEJUT DAN PANIK MENDENGAR ISTRINYA HENDAK TIBA) Maaf, hadirin sekalian, istri saya sepertinya mau memeriksa pekerjaan saya. Dia hampir tiba di sini. (MAJU LALU MUNDUR) Kalau anda ditanya, mohon katakan dengan jawaban, ”Cerita saya hanya untuk ditonton para perokok dan tentu saja perokok pasif karena di tubuhnya dibenamkan 4000 racun asap rokok. (MAJU LAGI, LALU MUNDUR) Katakan juga seluruh rangkaian drama ini didedikasikan untuk para korban kekejian asap dari pecandu rokok yang kian menggurita di dunia.
(PAK HARMAN KIAN JADI PANIK DI DEPAN PENONTON SEBELUM AKHIRNYA KE BELAKANG) Katakan juga bagi yang bukan perokok bisa dimengerti bila kurang paham drama cerita saya ini sssstttt…karena saya perokok. (LAGI, KE MAKIN KE DEPAN) Ada pesan yang lupa! Bagi saudara-saudara yang mau menyumbangkan uang untuk keluarga saya, nanti bisa tanya nomer rekening saya di belakang panggung ya! Tapi bagi yang kirim doa, boleh-boleh saja, asal langsung dan tidak melalui perantara.
(MERASA ISTRINYA DI AMBANG PINTU. PAK HARMAN RUSUH LUAR BIASA. KACAU, MEMBENAHI BAHAN CERAMAH ILMIAHNYA. SAMBIL MULUTNYA SEPERTI MESIN BERCERITA. BARANGAKALI PAK HARMAN KINI SEDANG MENGALAMI KEGONCANGAN JIWA)
Menurut data yang dihimpun Center for Relegion and Community Studies (CRCS), tahun 2007 angka cukai rokok mencapai Rp 37 triliun. Bayangkan, bila dari perolehan upeti sebesar itu, negara perlu mengeluarkan sejumlah Rp 167 triliun untuk menangani akibat penyakit yang ditimbulkan rokok. Fakta ini akan lebih mengejutkan kalau kita melihat hampir 70 persen perokok adalah warga miskin yang jaminan kesehatannya jadi tanggungan negara. Tercatat 456 perokok meninggal dunia dalam setiap jam. Di Indonesia, rata-rata 427.948 jiwa melayang oleh sebab yang sama. Tahun 2009 ini, proyeksi perolehan cukai negara mencapai RP 53 Triliun dan Dana Alokasi Cukai Hasil Tembakau yang dibagi sebesar Rp 960 miliar. Sayang itu digunakan untuk urusan tetek mbengek cukai juga. Jadi tidak ada urusan dengan perokok. Apalagi yang sudah sekarat akibat asap rokok.
 MUSIK PENUTUP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar