RACUN TEMBAKAU
DISADUR DARI ON
THE HARMFUL EFFECTS OF TOBACCO KARYA ANTON CHEKOV ATAS TERJEMAH JIM ADHI LIMAS
*****************************************************************************
Sinopsis
HARMAN seorang
suami berumur, bercambang panjang tapi dipingit. Dia perokok berat dan selalu
merasa tertekan oleh istrinya—seorang pekerja atas nama sosial dan amal yang
punya sekolah musik partikelir dan indekos buat anak perempuan.
Saat ini Harman
diminta istrinya untuk ceramah ”Bahaya Racun Tembakau” di sidang komunitas
ilmiah. Tugas ini bukan soal buat Harman, apalagi ia telanjur tahu bahaya asap
rokok. Namun masalah justru ada pada Harman, ketika ternyata ia selalu gagal
berceramah. Ada kekuatan diluar kendalinya yang mendesak bawah sadar Harman
untuk membocorkan kebenciannya pada istrinya. Karena hanya dengan itu ia
menemukan jalan pembebasan dari segenap gurita hidup yang membelit
kesehariannya. Sekaligus mengurai pengakuannya bahwa istrinya telah meracuni
jiwanya, seperti halnya rokok meracuni hidupnya. Rokok itu seperti istri, atau
istri itu seperti rokok. Entahlah mana yang benar?
Harman jelas
mendamba kebebasan dan hidup yang bersih seperti kertas putih.
Barangkali dia
sekadar tokoh penganjur yang jujur, tapi tidak pada dirinya sendiri.
Demikianlah, tampaknya menjadi penganjur adalah kepribadian paling mutakhir
manusia masa kini untuk selamat meski hal itu bukanlah hidup yang
sebenar-benarnya bagi dia. Hidup yang serba palsu. Lalu kalau semuanya palsu,
untuk apa tetap berlalu?(*)
NASKAH DRAMA
PAK HARMAN,
SEORANG KAKEK TUA YANG MASIH BERSEMANGAT HIDUP. MESKI PULUHAN TAHUN DALAM
CENGKERAMAN KUASA SANG ISTRI. ISTRINYA, MEMIMPIN SEBUAH LEMBAGA PARTIKELIR YANG
BERGERAK DI BIDANGNYA ATAS NAMA AMAL DAN SOSIAL. SELAIN PUNYA RUMAH INDEKOS
BAGI ANAK-ANAK PEREMPUAN.
SEBUAH PANGGUNG
KECIL DI RUANG RAPAT MASYARAKAT INTELEKTUAL.
BABAK SATU
PAK HARMAN :
(CAMBANGNYA PANJANG, KUMIS DICUKUR KLIMIS, JAS RESMI YANG SUDAH TUA DAN TERLALU
SERING DIPAKAI. IA MUNCUL DENGAN SIKAP AGUNG, MANGGUT, DAN MEMPERBAIKI DASINYA)
PAGI (ATAU MALAM) HARI. MUSIK MARS MASIH MELATARI SEBAGAI BUKTI PENGHORMATAN
PADA DUNIA ILMU PENGETAHUAN. SEBUAH BENDA LAPTOP—KOPOR DI LETAKKAN DI MEJA. PAK
HARMAN MENUJU PODIUM.
Sayalah yang
tidak punya nyali, tua dan bodoh. Hidup saya di tengah keluarga telah melampaui
melodrama dan tragic comedy. Satu-satunya yang membangkitkan spirit hidup saya
adalah mempersulit diri setiap jengkal perjalanan hidup dengan membuat
cerita-cerita seperti ini, ceramah-ceramah ilmiah kayak begini.
(MEMPERKENALKAN
DIRI DENGAN SIKAP AGUNG, MENGUSAP CAMBANGNYA). Selamat malam Saudara-Saudara
Sekalian, Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, serta adik-adik para pengabdi dan pecinta ilmu
pengetahuan. Sesuatu menyebabkan saya harus berdiri dan ceramah di sini. Saya
mulai dengan semacam sekapur sirih tentang kejantanan. Saya seorang pria yang
harus bangga dengan kejantanan saya karena saya telanjur tahu dimana letak
kejantanan saya. Saya yakin tidak semua diantara hadirin sekalian ini tahu
persis dimana letak kejantanan anda. Dan di usia senja saya, kebanggaan saya
yang tak terkikis habis adalah sepasang cambang panjang dan kumis tipis yang
senantiasa tersisir rapi. Lalu, istri saya itu adalah kehormatan saya yang
lain. Kami punya tujuh anak perempuan yang dihidupi dari memerah rumah indekos
yang oleh istri saya dikhususkan untuk biaya hidup anak-anak kami. Sementara
soal hidup saya, ini yang hendak saya tutur kisahkan—selain masalah istri,
kumis, berita, cerita, derita, dan sebungkus rokok yang senantiasa menemani
saya tiap hari. Inilah sesuatu hal penting bagi hidup saya dan perlu anda
dengarkan di sidang masyarakat ilmiah ini. Istri saya mengerti saya seorang
penceramah yang jujur. Karena itu harus jujur pula saya akui, saya berbicara di
sini di depan hadirin sekalian, sebetulnya bukanlah atas kehendak saya sendiri.
Lebih tepatnya kehendak istri saya—si kutu loncat yang cerdik, pintar, keras
kepala dan sudah barang tentu berbakat dan berkat itu semua ia bisa
mengumpulkan banyak duit untuk memenuhi kebutuhan hidup saya, menghidupi saya.
Lain hal bila seringkali ia mengaku tetap miskin, dan tak punya duit meski
sebagaimana saya tahu jumlah nomor rekeningnya banyak. Semuanya berisi uang
atas namanya. Jadi saya makan dari jerih payah sendiri, meskipun dari
kesempatan yang diberikan istri saya.
Seperti kali
ini, saya diminta ceramah untuk tujuan kegiatan sosial. Begitulah, pintarnya
istri saya bergerak membaca peluang kegiatan amal atau sosial. Apapun
kesempatan yang diberikan pada saya, buat saya tidak masalah. Justru saya
dengan senang hati bersedia membagi cerita apa saja pada hadirin sekalian dalam
kesempatan ini. Apalagi saya seorang penulis cerita yang sudah lebih tigapuluh
tahun lamanya. Boleh dibilang saya hidup dari dan untuk cerita itu sendiri atau
sayalah mungkin cerita itu. Hidup saya telah benar-benar saya abdikan untuk
seluruh cerita-cerita yang saya tulis, dan cerita-cerita yang saya tulis telah
demikian menjadi milik saya, jadi bagian hidup saya. Saya sudah terbiasa dan
karena itu saya tak peduli sekalipun ceramah ini sebenarnya atas kemauan istri saya.
Selama ini, anak-anak senang, istri saya girang, tanpa harus repot dengan
posisi saya apakah sebetulnya saya sedang bekerja pada istri, atau tengah
dipekerjakan oleh majikan saya dalam hal cerita-cerita saya dan ceramah-ceramah
saya. Bagi saya cukup penting manakala saya punya perasaan, perasaan bahwa saya
setidaknya telah menjadi majikan atas ceramah saya ini. Sebagaimana saya
menjadi majikan bagi rokok saya pada waktu membuat cerita-cerita saya. Sesekali
memang pernah muncul di otak saya, pertanyaan, siapa sebenarnya majikan saya
dalam hal ini, istri ataukah cerita-cerita saya. Istri saya atau
ceramah-ceramah saya. Rokok yang saya hisap atau saya yang dihisap olehnya.
Tapi pertanyaan itu kerdil dengan sendirinya setelah tigapuluh tahun lamanya.
Sampai kini saya tetap menulis cerita-cerita. Sampai kini saya tetap memberikan
ceramah di mimbar-mimbar seperti ini. Sampai tak terhitung berapa bungkus rokok
yang saya hisap dan saya dihisap olehnya.
(MEMPERBAIKI
DASINYA) Sepanjang waktu saya menghisap istri saya dan saya dihisap olehnya
melalui ceramah-ceramah saya. Ceramah saya kali ini saya diminta bercerita
tentang bahaya yang mengancam manusia karena menghisap asap rokok. Saya sendiri
merokok, tapi kalau istri saya yang menyuruh berdiri di mimbar ini, seperti
yang lalu-lalu, saya tak berkutik. Tidak ada jalan lain, karena itu beginilah
jadinya cerita itu. Tidak ada yang boleh protes! Bagi saya tidak soal. Bila
mungkin bagi hadirin sekalian atau bagi ceramah ini sendiri bermasalah,
terkesan cerita dipaksakan, hal itu bukanlah soal bagi saya. Jujur saja, saya
tak berniat memaksakan. Tepatnya menganjurkan kepada hadirin sidang keilmuan
yang terhormat, untuk menangkap kesungguhan ceramah saya, meskipun ini cuma
sepenggal cerita. Karena itu bagi yang tidak siap sungguh mendengarkan,
mencermati dan menikmati, sebaiknya ceramah saya tak perlu dilanjutkan dan
dicukupkan sampai di sini saja. Sama sekali bagi saya bukan suatu soal, apakah
ceramah saya didengar oleh orang yang terpaksa hadir dan memperhatikan atau tidak.
(KEPADA PENONTON) Bagaimana? Terus atau
diakhiri sampai di sini? Lanjutkan? Alhamdulillahirobbilalamin… Bonus saya
sehabis drama ini tampaknya bakal mulus… Kalau pejabat birokrat jawabannya:
lanjutkan..lanjutkan.
Tapi bila
ibu-ibu katanya: terus..terus…(SAMBIL MENGEKSPRESIKAN GAIRAH BERCINTA SEBELUM
AKHIRNYA KEMBALI MENJAGA POSISI AGUNG DENGAN MEMPERBAIKI DASINYA. MELIHAT LAJU
ARLOJI TANGANNYA) Rusak..rusak..Asu turu ditabrak becak! Serius..serius.
Kembali ke monolog! Saya serius berharap mendapat perhatian dari
saudara-saudara, bapak-bapak, ibu-ibu dan para intelektual budiman yang respek
dengan masalah bahaya racun tembakau dan akibat-akibat buruk dari asap rokok.
Meskipun, di lingkungan kedokteran tentu saja racun-racun yang saya maksudkan
terkandung pada rokok itu bisa dimanfaatkan untuk keperluan-keperluan medis.
Rokok dikenal berbahaya tidak saja bagi tuannya, tetapi juga… (BERHENTI SEBELUM
KEMBALI KE MASALAH PRIBADI).
Biasanya saya
menulis cerita-cerita saya, juga menyampaikan ceramah-ceramah saya itu sambil
merokok. Terutama bila menulis cerita saya perlu melepas baju agar perasaan dan
tubuh saya terbebas dari beban, sambil sesekali memelintir kumis saya tanpa
sadar. Hanya kebiasaan saja. Tapi karena saya diminta ceramah masalah bahaya
asap rokok, maka mustahil itu saya sampaikan sambil merokok. Bukti bahwa saya
masih punya etika, bukti bahwa saya masih waras. Apa kata dunia bila saya
ceramah bahaya asap rokok sambil merokok? Apalagi bila musti dengan
bertelanjang dada. Bisa-bisa saya disunat lagi. Maksud saya honor saya disunat
lagi. Ah, mungkin saudara-saudara sekalian sudah sunat! (DIULANG) Ah, mungkin
saudara-saudara sekalian sudah menduga ini hanyalah upaya saya untuk menghibur
diri dari pekerjaan yang dibebankan oleh istri saya, agar saya tak berpikir
bahwa sebenarnya pikiran, hati, perasaan, imajinasi, persepsi, interpretasi
saya sedang dihisap oleh istri saya sendiri. Tidak salah! Sah-sah saja! Walau
sebetulnya, pikiran-hati, perasaan, imajinasi dan tetek mbengek itu semua sudah
selama tigapuluh tahun lebih telah dihisap istri saya tidak saja dalam hal
cerita. Khususnya, ketika kami saling menghisap di kamar, di tempat tidur atau
di lantai sampai kami membuahkan tujuh orang puteri yang cantik-cantik dan tak
kalah hebatnya dibanding ibunya itu. (MELIHAT KEMBALI PUTARAN ARLOJI) Jadi
sebetulnya dalam hal menghisap ini, bagi saya, istri saya serupa dengan rokok.
Pada saat saya sedot, diam-diam melalui mulutnya ia menebar 4000 zat kimia
beracun untuk dibenamkan di tubuh saya sampai suatu saat ganti menyedot hidup
saya. Biasanya saya ceramah mata kanan saya kekediban, tapi tak perlu hadirin
sekalian risaukan karena ini lantaran senewen saja. Saya orang yang sangat
gugup, pada umumnya; dan kedipan-kedipan ini sudah mulai sejak kelahiran anak
perempuan keempat saya, dan sejak kesibukan sehari-hari saya sebagai
intelektual membuat saya seperti ini sekarang. (MASIH MEMANDANGI SISI ARLOJI)
Karena sempitnya waktu, sebaiknya ceramah saya jangan melantur ke hal-hal yang
tak ada hubungannya dengan rokok.
(TERBURU-BURU)
Sebelum saya lupa, sebaiknya saya ceritakan terlebih dulu bahwa istri saya
punya jam terbang kegiatan sosial dan amal yang luar biasa. Sering bepergian
tidak saja di luar pulau tapi juga ke luar negeri. Amerika. Eropa. Gresik.
Lamongan. Ondemohen. Glenmore. Meski jarang bertemu, karena dia telah lama
mendelegasikan seluruh urusan keluarga kepada saya, bila bertemu kami banyak
bercerita tentang kebobrokan negeri ini. Dia mengomel kesana kemari tentang
kesusahan zaman, kemiskinan, korupsi. Padahal, dia sama sekali hidupnya jauh
dari kondisi itu semua. Uangnya banyak, makannya kenyang, tidurnya nyenyak,
liburannya enak. Sementara suaminya, saya ini, hanya jadi pendengar! Uang saya
tak pernah lebih dari cukup. Hanya dari hasil keahlian saya sebagai penulis
cerita dan ceramah-ceramah seperti ini. Soal keahlian saya mengurus kamar
indekos dan menjaga rumah tangga, juga belanja, mulai dari belanja kebutuhan
makanan, keperluan anak-anak, obat flu, supermi, rok mini, sampai tusuk gigi,
pembalut dan lain-lain yang tak saya tahu muasal duitnya, saya cuma pegang
ballpaint, mencatat di buku laporan keuangan. Terkadang bila saya lupa, malah
saya bawa ke kebun karena saya juga merangkap tukang kebun, atau sambil
menyiapkan makanan untuk kucing-kucing kesayangan saya.
(MAJU DEPAN
PANGGUNG) Nah, saya punya tiga ekor kucing. Di depan istri saya sering saya
belai dan anehnya istri saya tidak marah! Ini mungkin bumerang bagi saya
memelihara kucing. Suatu malam, saya membuatkan masakan paling enak untuk
istri. Makanan kesukaannya itu martabat telor. Maksud saya martabak telor.
Berbeda dengan saya, soal makanan, tak satupun makanan yang jadi pantangan
saya, tak satupun yang tidak masuk di mulut saya. Semuanya halal masyaallah!
Singkatnya, malam itu istri saya tidak berselera dengan masakan martabak buatan
saya. Semula ia suruh simpan martabak itu di almari, barangkali lain kali
bangkit lagi seleranya dengan masakan buatan saya.
Tapi kemudian berubah pikiran. ”Lemparkan saja
martabak telor itu pada ketiga kucing kesayanganmu!” katanya. Sebetulnya, saya
tersinggung. Tersinggung. Mengapa tidak diberikan kepada saya, yang harus jujur
saya akui malam itu mengalami lapar luar biasa dan ia tahu tidak ada satupun
jenis makanan yang jadi pantangan saya, tak satupun yang tak saya suka. Ah,
saya pikir beruntung martabak itu diberikan kepada kucing kesayangan saya. Jadi
saya bisa minta cerita pada ketiga kucing itu untuk mengisahkan kelezatannya
pada perut dan lidah saya. Pertanyaannya sekarang, mengapa saya jadi sibuk
dengan kucing? Ah, tapi ceramah saya sudah ngelantur lagi, sudah menyimpang
dari pokoknya. (ARLOJI MAKIN MENAKUTKAN BUATNYA)
Saudara-saudara.
Saya mengerti, hadirin sekalian lebih senang menikmati ceramah-ceramah cerita
masalah romantis, percintaan remaja, melodrama, tragic comedy dan tentu saja
seks. Nah, untuk satu hal yang belakang ini, izinkan saya menyanyikan barang
sepotong lagu untuk anda. Boleh? Tarik! (NYANYI-NYANYI LAGU REMAJA BERISI
CERITA LUCU SEPUTAR SEKS). Hei..lagu saya bukan yang itu! Ini: Aku suka
susunya, hingga tetes terakhir. Satu lagi boleh pakai musik! Balonku ada lima,
rupa-rupa namanya. Hijau, kuning kelabu, tidur dengan balonku. Meletus balon
hijau, Dor! Sudah. Sudah meletus. Rusak..rusak.. ayu..ayu.. digasak luak!
Lupa..lupa..lupa..lupa..lupa
dialognya! Alangkah baiknya sebelum lupa, saya katakan bahwa selain menjaga
urusan rumah tangga, menulis cerita, ceramah, saya juga diserahi tugas membuat
kliping koran tentang masalah keagamaan dan masyarakat, sesekali melatih
kegiatan teater terutama bila untuk kegiatan amal, mengikuti rapat-rapat di
lembaga dewan rakyat atau menghadiri undangan komunitas ilmiah dan lembaga
swadaya masyarakat. Kadang-kadang saya diminta membuat proposal atau term of
refference. Semua itu atas permintaan istri saya, dan bukan atas kemauan saya
sendiri. Hah! Ada satu hal yang perlu anda camkan! Apakah diantara hadirin
sekalian ada yang wartawan? Atau kritikus teater? Terus terang, saya menulis
cerita dan berceramah seperti yang saya sampaikan kepada hadirin ini, saya
tidak peduli dimuat atau tidak dimuat di media. Karena memang tidak akan pernah
saya tunjukkan pada istri saya mengenai isinya.
Saya hanya
perlu membacakan judulnya saja: RACUN TEMBAKAU. Sebab itu, kalau nanti dimuat
yang penting tulis judulnya saja. Dan foto saya jangan lupa! Musik gak usah
dijepret. Soal isinya bisa berita apa saja, pesawat jatuh, flu babi, soal tki,
sinetron manohara dan sebagainya. Ngerti ora kowe? Isi ora penting! Ojo
sakkepenake dewe.. teroris kui yo aku iki. Dudu kowe.. Itu pun tak membuat saya
habis kawatir. (MAKIN RUSUH) Yang saya takutkan berikutnya, bilamana istri saya
membaca TV, melihat koran, atau mendengarkan siaran RRI yang memuat berita
saya, cerita saya, derita saya, sehingga jadi tahu keseluruhan isi pikiran
saya. Meski andaikan tahu, saya masih punya alibi baru karena itu semua atas
kemauaannya. Syukurlah, setidaknya hingga kini masih selamat, jalan cerita
halus mulus. Ceramah saya di tempat ini pun masih aman-aman saja. Berikutnya,
tentu yang perlu saya wanti-wanti adalah anda-anda sekalitan yang mendengar
ceramah ilmiah saya ini, saya peringatkan jangan menceritakan isinya kepada
istri saya. Apalagi menguraikan di depannya. Jangankan satu alenia, satu
kalimat pun, bahkan satu kata pun jangan sampai ia dengar dari orang lain.
Karena bukan mustahil bila orang lain yang berpesan, ia tak segan menyampaikan
kalimat: ”Istri saya adalah racun bagi diri saya.” Mungkin, andaikan itu pun
terjadi, saya masih menangkis dengan kata lain yang tak kurang mengerikan,
maksudnya kata itu adalah: ”Istri saya itu seperti rokok.” Saya memang tak
punya nyali untuk mengutarakan maksud sebenarnya, yaitu: NIKMAT DIHISAP DAN
KUAT MENGHISAP. Ah, jangan, jangan sampai itu terjadi. Mengerikan. Mengerikan.
Perempuan bila memuntahkan amarah itu sungguh di luar batas kemanusiaan. Jangan
sampai terjadi. Karena sebetulnya saya sedang berbicara tentang diri saya
sendiri, bukan tentang istri saya, bukan tentang pengakuan pembaca setelah
membaca cerita-cerita saya, bukan pula tentang pernyataan hadirin sekalian
setelah mengikuti ceramah saya. Sayalah yang tidak punya nyali, tua dan bodoh.
(MELIHAT
SEKELILING UNTUK BEREMPATI DIRI) Harus jujur saya akui, kini melalui kesempatan
seperti ini, juga dalan cerita-cerita saya meski kelihatan enjoy, sesungguhnya
saya ingin berteriak berontak setinggi langit atau lari ke ujung dunia—sesuatu
hal yang jelas amat sulit saya lakukan. Kepada siapa saya bisa mengadu? Aha!
obat mujarab yang bisa saya lakukan hanyalah: Saya ingin menangis. (MENANGIS)
Saya harus menangis. Saya harus menangis lebih keras! Saya menangis bukan minta
dikasihani. Tapi saya menangis karena ceramah saya pada kesempatan bermain
drama ini menghendaki saya menempuh jalan pembebasan dengan cara ini. Terserah,
apa kata saudara-saudara sekalian, karena ini kenyataan paling pahit bagi saya
waktu merasa sendiri, sepi, dan sunyi di tengah keluarga saya yang seperti ini.
Bermain drama ceramah ilmiah itu susah. Tobat..tobat..soto babat campur kawat…
Penontone akeh, gajiku gak mundhak-mundhak! Saudara-saudara sekalian boleh
menyalahkan saya, dan memang sedikit banyak saya merasa bersalah.
(TABLO—MENGATUR DUDUK) Tapi kalau hadirin sekalian berkata, anak-anak perempuan
sayalah seharusnya yang bisa mengusir kesunyian ini, itu sama sekali tidak
benar.
(MEMPERTONTONKAN
SISA BANGGA) Anak-anak saya seperti anak-anak zaman sekarang tidak mau tahu dan
tidak banyak tahu. Mereka cuma maunya beres, cekikikan di sana-sini, hidup
bergaya pakai barang buatan Eropa-Amerika. Chating, SMS, Facebook! Oya, istri
saya punya 7 anak perempuan. Yang sulung bernama Ana, umurnya 27 tahun, yang
bungsu bernama Ani sudah berumur 17 dan yang mulai membesar namanya Anu
puanjangnya 19 centitahun. Ha..ha..rusak! rusak! Ayu..ayu.. panganane cecak!
Saudara..saudara,
ibu-ibu, bapak..bapak, siapa yang punya anak bilang aku aku yang telah
malu..eh! Saudara-saudara sekalian yang budiman, sekali lagi dengan hormat saya
minta: Jangan ceritakan apapun mengenai ceramah dan cerita saya ini pada istri
saya. Awas!
BABAK DUA
(MUSIK
SENANTIASA MEMBUAT PAK HARMAN KEMBALI PERCAYA DIRI, GAGAH DALAM PENDERITAAN).
Saya memang
sengsara, menderita, dungu, dan tidak berarti. Tapi, dengan ceramah dan hadir
di sini, serta melalui cerita-cerita saya, saya harus tunjukkan sayalah seorang
ayah yang paling bahagia. Sudah seharusnya seperti ini dan saya tidak punya
nyali menafikkan ini. Tigapuluh tahun lebih bukan waktu yang pendek untuk
penderitaan saya ini. Harus saya katakan justru itulah sepanjang waktu paling
subur. Dari penderitaan itu, harus anda sekalian ketahui, ceramah dan
cerita-cerita saya adalah titik terang kebahagiaan itu. Sekarang. Yang lain
prek! Persetan! Inilah tiba saatnya kesempatan bagi saya menyingkap titik
terang dalam hidup saya. Sesuka saya.
(MERATAP
DALAM HENING) Saya ini sangat penakut, tapi ternyata anak-anak perempuan saya
juga telanjur menjadi korban dari kehendak hidup istri saya. Dari ketujuh
anak-anak perempuan saya, satupun belum ada yang kawin. Mungkin karena pemalu.
Tapi jangan-jangan memang dilarang kawin oleh ibunya, karena yang dia tahu
tentang laki-laki hanyalah saya bapaknya. Tapi satu hal yang pasti, istri saya
paling tidak suka bikin pesta, dia tidak pernah undang siapa-siapa untuk hadir
dan makan, dia kliwat judes, adatnya jelek, perempuan tukang cekcok, sehingga
tidak ada yang mau datang bertamu.
(MELIHAT LAGI
SEKELILING) Tolong, saudara-saudara untuk tidak mendengarkan cerita saya pada
bagian ini dan maaf kalau saya tidak percaya sepenuhnya pada anda, karena
jangan-jangan bakal anda ceritakan pada istri saya. Istri saya itu ibarat
tomat, lek bengi tobat awane kumat. Satu hal lagi yang perlu anda sekalian
ketahui: saya lebih bebas menghadiri pesta bila tanpa istri dan anak-anak saya.
Tentu bisa anda duga apa yang terjadi. Mabuk! Maabukk!!! Sayalah pemabuk dengan
minuman apapun yang memabukkan, karena dengan demikian inilah cara kedua saya
untuk mampu berasa bahagia sekaligus sedih. Sulit memang mengambarkan
kemabukkan seperti ini.
(MENGUMBAR
GAIRAH) Namun bermain dramalah gambaran paling mudah untuk menyingkap perasaan
seperti itu. Bahagia tapi sedih. Semacam kebahagian tapi palsu. Atau
kebahagiaan yang hanya ada dalam cerita. Kebahagiaan yang disusupi sesuatu yang
membikin saya ingin lari, ingin segera minggat. Oh, andai saudara-saudara
sekalian bisa merasakan bagaimana saya ingin melakukan itu! Lari, meninggalkan
semua ini, lari tanpa menengok asalkan bisa minggat dari kehidupan yang hina,
kejam, marah ini, yang sudah menjadikan saya tua bangka bobrok, tua bangka
edan; minggat dari si pelit goblok, galak, dengki, yang jiwanya sempit serta
menjengkelkan itu. Istri saya itu, yang sudah menyiksa saya lebih TIGA PULUH
tahun lamanya! Saya ingin minggat dari kemunafikan, dari dapur, dari urusan
duit istri saya, dari segala persoalan tetek mbengek. Tetek-nya jangan! Minggat
dari segala persoalan mbengeekkk!!! Lari..lari..lari…untuk berhenti di suatu
tempat yang jauh, jauh sekali di suatu padang, untuk berdiri sendiri menjulang
seperti pohon rindang, seperti tiang, seperti memedian pengusir burung di
tengah sawah, di bawah langit yang lebar, dan semalaman terus memandang bulan
terang yang sunyi di atas kepala, lalu melupakan, melupakan!
(NYARIS MENGIGAU) Oh, saya merindukan
kemampuan tidak mengingat saya. Tapi betapa ingatan saya tak sabaran. Saya
malah ingat bagaimana 33 tahun lalu menjambret jas tua jelek ini, yang kemudian
saya pakai untuk pernikahan kami. Ingatan saya memang tak sabaran, saya ingat
lagi tas sialan ini yang telah tigapuluh tahun lebih menyimpan rahasia saya,
amplop-amplop honor saya, menyimpan dosa dan kejahatan saya. Oh..saya
betul-betul merindukan kemampuan tidak mengingat. Saya merindukan kepala saya,
pikiran saya, perasaan saya, emosi saya bersih dari segala noda bernama
ingatan. Bersih seperti kertas putih yang dihapus dari catatan harian,
angka-angka dan daftar utang piutang. Ingatanlah yang telah membawa saya
melompat-lompat, menyeret-nyeret pada jurang masa lalu, masa kini dan masa
depan. Ingatanlah yang menyebabkan saya muter-muter ke sana kemari. Ya, saya
sich sudah muter balik kemari ke sana, tapi ujung-ujungnya tetap karena saya
punya ingatan. Ini yang menyiksa saya. Ini yang menyulitkan saya. Saya
merindukan saat saya tak perlu sibuk tahu berapa umur saya, siapa istri saya,
berapa jumlahnya dan mau apa besok sesudah pentas drama ini usai. Bayangkan
bila saya tak punya ingatan, betapa jernih hidup sehari-hari saya. Tak perlu
saya mengisahkan bagaimana si kutu loncat istri saya itu menghisap saya hingga
tigapuluh tahun lebih ini. Saya bayangkan bila saya tanpa ingatan, maka saya
hanya perlu bermain sesuka saya, bermain drama sekehendak hati saya, karena
bagi saya setiap waktu adalah masa kini. Masa kini, masa kini thok!. Yang lain
prekethek! Drama ini tak bakal serumit dan sesulit pertunjukan malam ini. Atase
drama wae, kok! Tapi kenyataannya malam ini tidak sebegitu enteng.
Kenyataannya, saya perlu mempersulit diri dalam bermain drama biar katanya
lebih berbobot. Padahal itu jelas-jelas menyiksa saya, menganiaya saya.
Soro..soro.. tibake sampean seneng lek awake dhewe soro! Tobil..tobil..soto
babi campur krikil..!!Sampean-sampean ternyata senang kan bila saya tersiksa?
Kebangeten! Saya juga jadi nggak tahu kenapa, saya juga senang menyiksa diri.
Heran saya! Padahal saya tahu ini penyakit mashokis, senang menyiksa diri.
Syukurlah, cintalah yang membuat saya betah dan terhibur di tempat ini, di
dunia ini, di pertunjukan ini: Istri (kedua) dan drama. Cinta pula yang
menyebabkan saya perlu sedikit kompromi dengan ingatan, penderitaan,
kekonyolan. Saya perlu mengajak bercanda masa lalu, masa kini dan masa depan
dengan cara seperti ini: Berputar-putar saja tanpa harus memikirkannya. Saya
perlu bercengkerama dengan nama-nama baru yang telah hidup di pikiran, hati,
perasaan dan emosi saya, sebagaimana halnya saya memanggil KUTU LONCAT pada
istri. Jujur saja saya tak perlu memikirkan itu semua bila saya tak ingin lebih
tersiksa lagi dengan ingatan seperti ini. Susah. Sungguh Susah. Susah Sungguh
menjadi orang cerdas seperti saya. Mungkin sudah menjadi ciri khas bahwa mutlak
bagi orang CERDAS untuk SUSAH SUNGGUH! Atau salah satu syarat menjadi CERDAS adalah
SUSAH SUNGGUH. Atau bila ingin menjadi CERDAS harus belajar SUNGGUH SUSAH.
(MEMPROTES KE ATAS) Ah! Mana yang benar, BOS? Hei! Kok SUSAH SUNGGUH jadi orang
BENAR! ….. Kamu sudah mengirim Surat Sapi Betina dan tidak melarang umatmu
mengumpat ke angkasa, tapi itu semua tidak membuat saya menjadi lebih baik!
Kamu malah mengirimkan pesawat-pesawat tempur tentara negara saya berjatuhan
dari angkasa. Yang benar saja!
(MENGAMUK.
MEMBUANG HURUF-HURUF PADA LAPTOP—KOPOR )
Sialan!
Sialannn!!!!
(HENING.
PAK HARMAN MEMUNGUTI LAGI ISI LAPTOP—KOPORNYA. SAMBIL MELANJUTKAN CERAMAH)
(IA MENGAMBIL
”SEBATANG TUBUH SEORANG PEREMPUAN.” LALU DIBAWA KE RUANG DALAM.
Rasakan!
Kuinjak-injak kau! Rasain! (SUARA MENGINJAK-INJAK ATAU MEMPERKOSA TUBUH
PEREMPUAN ITU) Saya sudah tua, melarat, sengsara, menderita. Saya sudah nyaris
habis menghisap kamu tapi kamu tak habis-habisnya menghisap saya! Keinginan
saya tidak muluk-muluk.
(SEMENTARA DARI
BELAKANG PANGGUNG PAK HARMAN TETAP BERCELOTEH, PERLAHAN-LAHAN SEPASANG KAKI
SEKSI PEREMPUAN ITU MENYEMBUL DARI BALIK TIRAI. KEDENGARANNYA AMARAH PAK HARMAN
PUN MEMUNCAK. LALU DISUSUL GERAKAN DAN SUARA-SUARA HISTERIS YANG MENGGODA.
SAMPAI PADA ORGASME TUBUH DAN JIWANYA) Saya sebagai lelaki hanya ingin mendapat
hidup yang bersih, tidak dihisap. Kalaupun saya menghisap kamu itu karena saya
membutuhkan kenikmatan kamu. Saya pernah muda, saya pernah belajar di
universitas, saya pernah punya cita-cita, saya pernah menganggap diri saya
seorang lelaki. Saya cukup punya kehormatan untuk mendapatkan hidup yang
bersih, tidak terus-terusan dihisap, dan mengumpulkan penyakit di tubuh saya.
Sekarang saya tidak mau apa-apa! Tidak mau apa-apa selain istirahat, hei kamu
bini sialan!
BABAK TIGA
(HENING. DAN
PAK HARMAN MUNCUL LAGI DARI BALIK TIRAI DALAM KEADAAN SETENGAH BUGIL. SAMBIL
MELANJUTKAN CERAMAH ALA KADARNYA SEBELUM AKHIRNYA IA MERASA ADA ADEGAN YANG
PERLU DIULANG)
Saya seorang
pria yang harus bangga dengan kejantanan saya, karena saya telanjur tahu dimana
letak kejantanan saya.
(MENGAMBIL
SEBATANG ROKOK. TAPI CEPAT SADAR. LALU MENCABUT DENGAN KASAR ROKOKNYA YANG
TELAH TERJEPIT DI ANTARA DUA BIBIR. MEMBUANG DI LANTAI BAWAH KAKI)
Sampah! Sampah!
Rasakan! Puntung buntung! Tak bawa untung! Kuinjak-injak kau! Rasain!
(MENGINJAK-INJAK) Saya sudah tua, melarat, sengsara, menderita. Saya sudah
nyaris habis menghisap kamu tapi kamu tak habis-habisnya menghisap saya!
Keinginan saya tidak muluk-muluk.
(TIBA-TIBA
SEBENTUK BENDA YANG LUAR BIASA BERUKURAN BESAR JATUH DARI LANGIT-LANGIT: SEBUAH
ROKOK. AMARAH PAK HARMAN PUN MEMUNCAK. LALU DISUSUL TARIAN PENGGODA DENGAN
MENGUSUNG BENDA BESAR ITU SETELAH TERLEBIH DULU BERHASIL MEREBUTNYA) Saya
sebagai lelaki hanya ingin mendapat hidup yang bersih, tidak dihisap, kalaupun
saya menghisap kamu itu karena saya membutuhkan kenikmatan kamu. Saya pernah
muda, saya pernah belajar di universitas, saya pernah bercita-cita, saya pernah
menganggap diri saya seorang lelaki. Saya cukup punya kehormatan untuk
mendapatkan hidup yang bersih, tidak terus-terusan dihisap, dan mengumpulkan
penyakit di tubuh saya. Sekarang saya tidak mau apa-apa! Tidak mau apa-apa
selain istirahat, hei kamu bini sialan! Toolooong…Saya ingin istirahat…
(TERKEJUT DAN
PANIK MENDENGAR ISTRINYA HENDAK TIBA) Maaf, hadirin sekalian, istri saya
sepertinya mau memeriksa pekerjaan saya. Dia hampir tiba di sini. (MAJU LALU
MUNDUR) Kalau anda ditanya, mohon katakan dengan jawaban, ”Cerita saya hanya
untuk ditonton para perokok dan tentu saja perokok pasif karena di tubuhnya
dibenamkan 4000 racun asap rokok. (MAJU LAGI, LALU MUNDUR) Katakan juga seluruh
rangkaian drama ini didedikasikan untuk para korban kekejian asap dari pecandu
rokok yang kian menggurita di dunia.
(PAK HARMAN
KIAN JADI PANIK DI DEPAN PENONTON SEBELUM AKHIRNYA KE BELAKANG) Katakan juga
bagi yang bukan perokok bisa dimengerti bila kurang paham drama cerita saya ini
sssstttt…karena saya perokok. (LAGI, KE MAKIN KE DEPAN) Ada pesan yang lupa!
Bagi saudara-saudara yang mau menyumbangkan uang untuk keluarga saya, nanti
bisa tanya nomer rekening saya di belakang panggung ya! Tapi bagi yang kirim
doa, boleh-boleh saja, asal langsung dan tidak melalui perantara.
(MERASA
ISTRINYA DI AMBANG PINTU. PAK HARMAN RUSUH LUAR BIASA. KACAU, MEMBENAHI BAHAN
CERAMAH ILMIAHNYA. SAMBIL MULUTNYA SEPERTI MESIN BERCERITA. BARANGAKALI PAK
HARMAN KINI SEDANG MENGALAMI KEGONCANGAN JIWA)
Menurut data
yang dihimpun Center for Relegion and Community Studies (CRCS), tahun 2007
angka cukai rokok mencapai Rp 37 triliun. Bayangkan, bila dari perolehan upeti
sebesar itu, negara perlu mengeluarkan sejumlah Rp 167 triliun untuk menangani
akibat penyakit yang ditimbulkan rokok. Fakta ini akan lebih mengejutkan kalau
kita melihat hampir 70 persen perokok adalah warga miskin yang jaminan
kesehatannya jadi tanggungan negara. Tercatat 456 perokok meninggal dunia dalam
setiap jam. Di Indonesia, rata-rata 427.948 jiwa melayang oleh sebab yang sama.
Tahun 2009 ini, proyeksi perolehan cukai negara mencapai RP 53 Triliun dan Dana
Alokasi Cukai Hasil Tembakau yang dibagi sebesar Rp 960 miliar. Sayang itu
digunakan untuk urusan tetek mbengek cukai juga. Jadi tidak ada urusan dengan
perokok. Apalagi yang sudah sekarat akibat asap rokok.
MUSIK
PENUTUP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar