PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA
KEHIDUPAN BERMASYARAKAT, BERBANGSA, DAN BERNEGARA
BAB I
PENDAHULUAN
Pancasila
adalah dasar filsafat negara Republik Indonesia yang secara resmi disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 dan
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, diundangkan dalam Berita Republik Indonesia
tahun II No.7 bersama-sama batang tubuh UUD 1945. Pancasila
sebagai paradigma dimaksudkan bahwa Pancasila sebagai sistem nilai acuan,
kerangka-acuan berpikir, pola-acuan berpikir; atau jelasnya sebagai sistem
nilai yang dijadikan kerangka landasan, kerangka cara,
dan sekaligus kerangka arah/tujuan bagi ‘yang menyandangnya. Yang menyandangnya
itu di antaranya: (a) bidang politik, (b) bidang ekonomi, (c) bidang sosial
budaya, (d) bidang hukum, (e) bidang kehidupan antar umat beragama, Memahami
asal mula Pancasila. Sebagai tertib hukum tertinggi keberadaan Pancasila tidak
dapat diganggu gugat, karena merubah dan mengamandemen Pancasila sama halnya
dengan membubarkan NKRI yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945
Lembaga Pengkajian dan
Pengembangan Kehidupan Bernegara (LPPKB) telah berhasil menyusun Pedoman Umum
Implementasi Pancasila Dalam Kehidupan Bernegara, namun masih perlu dirumuskan
ke dalam Paradigma yang secara
operasional dapat digunakan sebagai pedoman dan model baik dalam merumuskan
kebijakan publik maupun sebagai acuan kritik, untuk menentukan mana yang sesuai
atau yang tidak sesuai dengan Pancasila.
1.2
Rumusan Masalah
2. Apa yang
dimaksud Pancasila sebagai paradigma pembangunan?
3. Apa yang dimaksud Pancasila sebagai Paradigma
Pembangunan Politik?
4. Bagaimanakah
peran Pancasila Sebagai Pembangunan Ekonomi?
5. Bagaimanakah peran Pancasila Sebagai
Pembangunan Sosial Budaya?
6. Bagaimanakah Paradigma Kehidupan Bangsa
Indonesia?
1.3
Tujuan Masalah
2.
Untuk mengetahui Pancasila sebagai paradigma
pembangunan
3.
Untuk mengetahui Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Politik
4.
Untuk mengetahui Pancasila Sebagai Pembangunan Ekonomi
5.
Untuk mengetahui Pancasila Sebagai Pembangunan Sosial
Budaya
6.
Untuk mengetahui Paradigma Kehidupan Bangsa Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Paradigma dalam arti luas
Paradigma
secara sederhana dapat diartikan sebagai kerangka pikir untuk melihat suatu
permasalahan. Pengertian paradigma berkembang dari definisi paradigma
pengetahuan yang dikembangkan oleh Thomas Kuhn dalam rangka menjelaskan
cara kerja dan mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya ilmu-ilmu alam.
Paradigma pengetahuan merupakan perspektif intelektual yang dalam kondisi
normal memberikan pedoman kerja terhadap ilmuwan yang membentuk ‘masyarakat
ilmiah’ dalam disiplin tertentu.
Robert
Winslow menambahkan pengertian paradigma ilmiah
sebagai gambaran intelektual yang daripadanya dapat ditentukan suatu subjek
kajian. Perspektif intelektual inilah yang kemudian akan membentuk ilmu
pengetahuan normal (normal science) yang mendasari pembentukan kerangka
teoritis terhadap kajian-kajian ilmiah.
George
Ritzer memberikan pengertian paradigma sebagai
gambaran fundamental mengenai subjek ilmu pengetahuan. Paradigma memberikan
batasan mengenai apa yang harus dikaji, pertanyaan yang harus diajukan,
bagaimana harus dijawab dan aturan-aturan yang harus diikuti dalam memahami
jawaban yang diperoleh.
Paradigma
ialah unit konsensus yang amat luas dalam ilmu pengetahuan dan dipakai untuk
melakukan pemilahan masyarakat ilmu pengetahuan (sub-masyarakat) yang satu
dengan masyarakat pengetahuan yang lain. Paradigma membantu para ilmuwan dan
teoritisi intelektual untuk memandu, mengintegrasikan dan menafsirkan karya
mereka agar terhindar dari penciptaan informasi yang acak dan tidak beraturan.
Menurut
Kuhn, tidak ada sejarah kehidupan yang dapat diinterpretasikan tanpa
sekurang-kurangnya beberapa bentuk teori dan keyakinan metodologik implicit
yang berkaitan satu sama lain yang memungkinkan untuk melakukan seleksi,
evaluasi dan bersikap kritis. Meskipun terlihat terlalu bernuansa akademis,
sebenarnya paradigma tidak menjadi bahan kaji atau dominasi para kaum
intelektual untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, paradigma juga mungkin
diterapkan pada ranah-ranah kehidupan sosial yang lain. Sebenarnya Kuhn
mendapatkan gagasannya mengenai paradigma tersebut dari dunia sejarah dan sastra
yang kemudian diterapkannya ke dalam domain ilmu-ilmu alam yang pada waktu itu
dianggap sebagai satu-satunya ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah. Sedangkan
cabang ilmu pengetahuan yang sekarang telah dianggap sebagai ilmu, dulunya
hanya dianggap sebagai seni saja misalnya sejarah, sastra, dan politik.
2.2
Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan
Untuk mencapai tujuan hidup
bermasyarakat berbangsa dan bernegara Indonesia melaksanakan pembangunan
nasional. Hal ini sebagai perwujudan praksis dalam meningkatkan harkat dan
martabatnya. Secara filosofis hakikat kedudukan Pancasila sebagai paradigma
pembangunan nasional mengandung suatu konsekuensi bahwa dalam segala aspek
pembangunan nasional kita harus mendasarkan pada hakikat nilai-nilai pada
sila-sila Pancasila.
Hal
ini sesuai dengan kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar negara
Indonesia, sedangkan negara merupakan organisasi atau persekutuan hidup manusia
maka tidak berlebihan apabila pancasila menjadi landasan dan tolok ukur penyelenggaraan
bernegara termasuk dalam melaksanakan pembangunan.
Nilai-nilai
dasar Pancasila itu dikembangkan atas dasar hakikat manusia. Hakikat manusia
menurut Pancasila adalah makhluk monopluralis. Kodrat manusia yang monopluralis
tersebut mempunyai ciri-ciri, antara lain:
a.
susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga
b.
sifat kodrat manusia sebagai individu sekaligus sosial
c.
kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk tuhan.
Berdasarkan
itu, pembangunan nasional diarahkan sebagai upaya meningkatkan harkat dan
martabat manusia yang meliputi aspek jiwa, raga,pribadi, sosial, dan aspek
ketuhanan. Secara singkat, pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan
manusia secara totalitas.
Pembangunan
sosial harus mampu mengembangkan harkat dan martabat manusia secara
keseluruhan. Oleh karena itu, pembangunan dilaksanakan di berbagai bidang yang
mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Pembangunan, meliputi bidang politik,
ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
2.3
Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Politik
Manusia
Indonesia selaku warga negara harus ditempatkan sebagai subjek atau pelaku
politik bukan sekadar objek politik. Pancasila bertolak dari kodrat manusia
maka pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia.
Sistem
politik Indonesia yang bertolak dari manusia sebagai subjek harus mampu
menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat. Kekuasaan adalah dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai pancasila sebagai
paradigma adalah sistem politik demokrasi bukan otoriter. Berdasar hal itu,
sistem politik Indonesia harus dikembangkan atas asas kerakyatan (sila IV
Pancasila).
Pengembangan
selanjutnya adalah sistem politik didasarkan pada asas-asas moral daripada
sila-sila pada pancasila. Oleh karena itu, secara berturut-turut sistem politik
Indonesia dikembangkan atas moral ketuhanan, moral kemanusiaan, moral
persatuan, moral kerakyatan, dan moral keadilan.
Perilaku
politik, baik dari warga negara maupun penyelenggara negara dikembangkan atas
dasar moral tersebut sehingga menghasilkan perilaku politik yang santun dan
bermoral. Pancasila sebagai paradigma pengembangan sosial politik diartikan
bahwa Pancasila bersifat sosial-politik bangsa dalam cita-cita bersama yang
ingin diwujudkan dengan menggunakan nilai-nilai dalam Pancasila. Pemahaman
untuk implementasinya dapat dilihat secara berurutan-terbalik:
Penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik,
budaya, agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari;
Mementingkan kepentingan rakyat (demokrasi) bilamana dalam pengambilan
keputusan;
Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan
konsep mempertahankan persatuan;
Dalam pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang
adil dan beradab;
Di era globalisasi informasi
seperti sekarang ini, implementasi tersebut perlu direkonstruksi kedalam
pewujudan masyarakat-warga (civil society) yang mencakup masyarakat tradisional
(berbagai asal etnik, agama, dan golongan), masyarakat industrial, dan masyarakat
purna industrial.
Dapat
disimpulkan bahwa pengembangan politik negara terutama dalam proses reformasi
dewasa ini harus mendasarkan pada moralitas sebagaimana tertuang dalam
sila-sila Pancasila sehingga, praktik-praktik yang menghalalkan segala cara
dengan memfitnah, memprovokasi menghasut rakyat yang tidak berdosa untuk diadu
domba harus segera diakhiri.
2.4
Pancasila Sebagai Pembangunan Ekonomi
Sesuai dengan paradigma pancasila dalam
pembangunan ekonomi maka sistem dan pembangunan ekonomi berpijak pada nilai
moral dari pada pancasila. Secara khusus, sistem ekonomi harus mendasarkan pada
dasar moralitas ketuhanan (sila I Pancasila) dan kemanusiaan ( sila II
Pancasila). Sistem ekonomi yang mendasarkan pada moralitas dam humanistis akan
menghasilkan sistem ekonomi yang berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang
menghargai hakikat manusia, baik selaku makhluk individu, sosial, makhluk
pribadi maupun makhluk tuhan.
Sistem ekonomi yang berdasar pancasila
berbeda dengan sistem ekonomi liberal yang hanya menguntungkan
individu-individu tanpa perhatian pada manusia lain. Sistem ekonomi demikian
juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem sosialis yang tidak mengakui
kepemilikan individu. Pancasila bertolak dari manusia sebagai totalitas dan manusia
sebagai subjek. Oleh karena itu, sistem ekonomi harus dikembangkan menjadi
sistem dan pembangunan ekonomi yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat secara
keseluruhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila adalah sistem ekonomi
kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga tidak
dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral kemanusiaan.
Pembangunan ekonomi harus mampu menghindarkan
diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli dan bentuk lainnya yang
hanya akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan kesengsaraan
warga negara. Pancasila sebagai paradigma pengembangan ekonomi lebih mengacu
pada Sila Keempat Pancasila; sementara pengembangan ekonomi lebih mengacu pada
pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia. Dengan demikian subjudul ini menunjuk
pada pembangunan Ekonomi Kerakyatan atau pembangunan Demokrasi Ekonomi atau
pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia atau Sistem Ekonomi Pancasila.
Dalam Ekonomi Kerakyatan, politik/kebijakan
ekonomi harus untuk sebesarbesar kemakmuran/kesejahteraan rakyat yang harus
mampu mewujudkan perekonomian nasional yang lebih berkeadilan bagi seluruh
warga masyarakat (tidak lagi yang seperti selama Orde Baru yang telah berpihak
pada ekonomi besar/konglomerat). Politik Ekonomi Kerakyatan yang lebih
memberikan kesempatan, dukungan, dan pengembangan ekonomi rakyat yang mencakup
koperasi, usaha kecil, dan usaha menengah sebagai pilar utama pembangunan
ekonomi nasional.
Oleh sebab itu perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai
dengan ini ialah koperasi. Ekonomi Kerakyatan akan mampu mengembangkan
program-program kongkrit pemerintah daerah di era otonomi daerah yang lebih
mandiri dan lebih mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan pembangunan daerah.
Dengan demikian, Ekonomi Kerakyatan akan
mampu memberdayakan daerah/rakyat dalam berekonomi, sehingga lebih adil,
demokratis, transparan, dan partisipatif. Dalam Ekonomi Kerakyatan, Pemerintah
Pusat (Negara) yang demokratis berperanan memaksakan pematuhan
peraturan-peraturan yang bersifat melindungi warga atau meningkatkan kepastian
hukum.
2.5
Pancasila Sebagai Pembangunan Sosial Budaya
Dalam pembangunan pengembangan aspek sosial budaya hendaknya didasarkan atas sistem
nilai yang sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat
tersebut. Pancasila mendasarkan pada nilai yang bersumber pada harkat dan
martabat manusia sebagai makhlukyang berbudaya. Pancasila juga merupakan sumber
normatif bagi peningkatan humanisasi dalam bidang sosial budaya.
Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik
karena memang pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu
sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan yang adil dan
beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan
harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab.
Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan manusia-manusia biadab, kejam,
brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita menjadi manusia
adil dan beradab.
Manusia tidak cukup sebagai manusia secara
fisik, tetapi harus mampu meningkatkan derajat kemanusiaannya. Manusia harus
dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo menjadi human. Berdasarkan sila
persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar
penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam di seluruh
wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa.
Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap
budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka
merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan
sosial budaya tidak menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan
ketidakadilan sosial. Paradigma-baru dalam pembangunan nasional berupa
paradigma pembangunan berkelanjutan, yang dalam perencanaan dan pelaksanaannya
perlu diselenggarakan dengan menghormati hak budaya komuniti-komuniti yang
terlibat, di samping hak negara untuk mengatur kehidupan berbangsa dan hak
asasi individu secara berimbang (Sila Kedua). Hak budaya komuniti dapat sebagai
perantara/penghubung/penengah antara hak negara dan hak asasi individu.
Paradigma ini dapat mengatasi sistem perencanaan yang sentralistik dan yang
mengabaikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan Indonesia.
Apabila dicermati,
sesungguhnya nilai-nilai Pancasila itu memenuhi kriteria sebagai puncak-puncak
kebudayaan, sebagai kerangka-acuan-bersama, bagi kebudayaan - kebudayaan di
daerah:
(1) Sila Pertama,
menunjukan tidak satu pun sukubangsa ataupun golongan sosial dan
komuniti setempat di Indonesia yang tidak mengenal kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa;
(2) Sila Kedua, merupakan
nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap warganegara Indonesia tanpa
membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan, maupun golongannya;
(3) Sila Ketiga,
mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad masyarakat majemuk di
kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai satu bangsa yang
berdaulat;
(4) Sila Keempat, merupakan
nilai budaya yang luas persebarannya di kalangan masyarakat majemuk Indonesia
untuk melakukan kesepakatan melalui musyawarah. Sila ini sangat relevanuntuk
mengendalikan nilai-nilai budaya yang mendahulukan kepentingan perorangan;
(5) Sila Kelima, betapa
nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi landasan yang membangkitkan semangat
perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikutserta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
2.6
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Hukum
Salah
satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa tugas dan
tanggung jawab tidak hanya oleh penyelenggara negara saja, tetapi juga rakyat
Indonesia secara keseluruhan. Atas dasar tersebut, sistem pertahanan dan
keamanan adalah mengikut sertakan seluruh komponen bangsa. Sistem pembangunan
pertahanan dan keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat
semesta (sishankamrata).
Sistem
pertahanan yang bersifat semesta melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan
sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah
dan diselenggarakan secara total terpadu, terarah, dan berlanjut untuk
menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa
dari segala ancaman. Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta didasarkan pada
kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara, serta keyakinan pada kekuatan
sendiri.
Sistem
ini pada dasarnya sesuai dengan nilai-nilai pancasila, di mana pemerintahan
dari rakyat (individu) memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam masalah pertahanan
negara dan bela negara. Pancasila sebagai paradigma pembangunan pertahanan
keamanan telah diterima bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 3
Tahun 2002 tentang pertahanan Negara.
Dalam
undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada
falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap
tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Dengan ditetapkannya UUD 1945, NKRI telah memiliki
sebuah konstitusi, yang di dalamnya terdapat pengaturan tiga kelompok
materi-muatan konstitusi, yaitu:
(1)
Adanya perlindungan terhadap HAM,
(2)
Adanya susunan ketatanegaraan negara yang mendasar, dan
(3)
Adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang
juga mendasar.
Sesuai dengan UUD 1945, yang di dalamnya
terdapat rumusan Pancasila, Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian dari UUD 1945
atau merupakan bagian dari hukum positif. Dalam kedudukan yang demikian, ia
mengandung segi positif dan segi negatif. Segi positifnya, Pancasila dapat
dipaksakan berlakunya (oleh negara); segi negatifnya, Pembukaan dapat diubah
oleh MPR sesuai dengan ketentuan Pasal 37 UUD 1945. Hukum tertulis seperti UUD
termasuk perubahannya, demikian juga UU dan peraturan perundang-undangan
lainnya, harus mengacu pada dasar negara (sila - sila Pancasila dasar negara).
Dalam kaitannya dengan ‘Pancasila sebagai
paradigma pengembangan hukum’, hukum (baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis) yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan dengan
sila-sila:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa,
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3. Persatuan Indonesia,
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Dengan demikian, substansi hukum yang
dikembangkan harus merupakan perwujudan atau penjabaran sila-sila yang
terkandung dalam Pancasila.
Artinya, substansi produk hukum merupakan
karakter produk hukum responsif (untuk kepentingan rakyat dan merupakan
perwujuan aspirasi rakyat). Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Kehidupan
Umat Beragama Bangsa Indonesia sejak dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah dan
santun, bahkan predikat ini menjadi cermin kepribadian bangsa kita di mata
dunia internasional.
Indonesia adalah Negara yang majemuk,
bhinneka dan plural. Indonesia terdiri dari beberapa suku, etnis, bahasa dan
agama namun terjalin kerja bersama guna meraih dan mengisi kemerdekaan Republik
Indonesia kita. Namun akhir-akhir ini keramahan kita mulai dipertanyakan oleh
banyak kalangan karena ada beberapa kasus kekerasan yang bernuansa Agama.
Ketika bicara peristiwa yang terjadi di Indonesia hampir pasti semuanya
melibatkan umat muslim, hal ini karena mayoritas penduduk Indonesia beragama
Islam. Masyarakat muslim di Indonesia memang terdapat beberapa aliran yang
tidak terkoordinir, sehingga apapun yang diperbuat oleh umat Islam menurut
sebagian umat non muslim mereka seakan-seakan merefresentasikan umat muslim.
Paradigma toleransi antar umat beragama guna terciptanya kerukunan umat beragama perspektif Piagam Madinah pada intinya adalah seperti berikut :
Paradigma toleransi antar umat beragama guna terciptanya kerukunan umat beragama perspektif Piagam Madinah pada intinya adalah seperti berikut :
1.
Semua umat Islam, meskipun terdiri dari banyak suku merupakan satu
komunitas (ummatan wahidah).
2. Hubungan antara
sesama anggota komunitas Islam dan antara komunitas
3. Islam dan komunitas lain didasarkan
atas prinsip-prinsip :
a. Bertentangga yang baik
b. Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama
c. Membela mereka yang teraniaya
d. Saling menasehati
e. Menghormati kebebasan beragama.
a. Bertentangga yang baik
b. Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama
c. Membela mereka yang teraniaya
d. Saling menasehati
e. Menghormati kebebasan beragama.
Lima prinsip tersebut mengisyaratkan:
1) Persamaan hak dan kewajiban antara sesama
warga negara tanpa diskriminasi yang didasarkan atas suku dan agama;
2) pemupukan semangat persahabatan dan saling
berkonsultasi dalam menyelesaikan masalah bersama serta saling membantu dalam
menghadapi musuh bersama. Dalam “Analisis dan Interpretasi Sosiologis dari
Agama” (Ronald Robertson, ed.) misalnya, mengatakan bahwa hubungan agama dan
politik muncul sebagai masalah, hanya pada bangsa-bangsa yang memiliki
heterogenitas di bidang agama.
Hal ini didasarkan pada postulat bahwa
homogenitas agama merupakan kondisi kesetabilan politik. Sebab bila kepercayaan
yang berlawanan bicara mengenai nilai-nilai tertinggi (ultimate value) dan
masuk ke arena politik, maka pertikaian akan mulai dan semakin jauh dari
kompromi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari makalah ini dapat disimpulkan bahwa
Pancasila sebagai paradigma mempunyai kaitan yang erat dengan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Karena Pancasila mempunyai peran yang
sangat penting dalam berbagai bidang seperti dalam bidang hukum, ekonomi,
sosial budaya, dan juga pembangunan
Pancasila sebagai paradigma bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara ini dimaksudkan untuk dipergunakan sebagai acuan
setiap warganegara utamanya para penyelenggara negara dan pemerintahan dalam
menentukan kebijakan, melaksanakan kegiatan dan mengadakan evaluasi hasilnya
serta dalam menghadapi berbagai dinamika perubahan. Paradigma Kehidupan Bangsa
Indonesia ini akan dikembangkan lebih lanjut dalam bentuk yang lebih rinci
sehingga akan memudahkan bagi imple- mentasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar